Wednesday, April 8, 2020

Short Story: Minta Kepada Siapa

pic from pinterest

Aku mengaduk es batu pada segelas green tea di hadapanku tanpa minat. "Serius nggak bisa nih, Ndin?" Kembali aku mengulang pertanyaan yang sama, sambil menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa cafe, yang sayangnya tidak terlalu empuk ini.

"Iya, sorry banget, Lan. Ini bos gue juga ngabarinnya dadakan banget." Jawab Andini dari ujung sambungan telepon. Jawaban yang sukses membuatku frustasi.

Andini adalah sahabatku semasa kuliah, yang saat ini sudah sukses menjadi penulis novel sekaligus influencer yang diidolakan oleh banyak generasi millennials. Sudah sejak awal bulan yang lalu aku memintanya untuk menjadi pembicara pada seminar orientasi mahasiswa baru di kampus almamater kami, yang sekarang ini juga menjadi tempatku mencari nafkah.

Acara tinggal satu pekan lagi dan setengah jam yang lalu Andini baru mengabarkan kalau tiba-tiba dia dijadwalkan untuk mengikuti training di Kuala Lumpur selama seminggu oleh kantornya. Selain sukses sebagai penulis, temanku yang satu ini memang masih berprofesi sebagai karyawan di salah satu kantor konsultan di Jakarta.

"Emang trainingnya nggak bisa ditunda dulu gitu, Ndin?" Pintaku sekali lagi, masih berusaha membujuknya.

Sudah empat bulan terakhir ini aku bekerja sebagai Public Relations di kampus tempatku berkuliah dulu. Minggu depan kami akan mengadakan orientasi mahasiswa baru dan salah satu mata acaranya adalah seminar yang akan diisi oleh alumni kampus yang bisa dikatakan sudah sukses dan punya nama.

Teman-teman kantor yang mengetahui bahwa aku bersahabat dengan Andini Sarananta, penulis muda yang novelnya akan segera diangkat ke layar lebar dan digandrungi banyak remaja, lantas memintaku untuk menghubungi Andini agar dia bersedia menjadi pembicara pada seminar nanti. Semua prosesnya lancar-lancar saja pada awalnya. Sampai siang ini..

"Nah itu dia masalahnya. Yang ngatur jadwal trainingnya kan bukan gue, Alanaa. Kalo bisa milih juga gue nggak mau ikut training sekarang." Jelas Andini dari ujung sambungan telepon, membuatku makin tidak berselera menghabiskan spaghetti carbonarra yang sudah ku pesan dan baru aku makan kurang dari sepertiganya.

Sudah sekitar setengah jam aku duduk di cafe ini sendirian. Cafe dengan interior serba putih yang sangat cozy dan lokasinya cukup dekat dengan kantor. Maksud hati ingin memanjakan diri, kabur dari kantor di jam makan siang untuk sedikit me time sebelum nantinya kembali ke kantor dengan jadwal meeting untuk membicarakan persiapan masa orientasi mahasiswa baru. Rencana me time yang jadi berantakan semenjak Andini meneleponku dan mengatakan tidak bisa menjadi pembicara seminar. Aku harus bilang apa ke timku saat meeting nanti??

"Atau lo cuti aja gimana? Jadi lo nggak perlu ikutan training, kan?" Usulku, masih tetap berusaha. 

"Ngajuin cuti pas jadwal training sih sama aja gue ngajuin surat pengunduran diri, Lan." Jawab Andini yang sepertinya mulai lelah memberikan penjelasan kepadaku. 

"Terus gue gimana dong, Ndin? Gue kan udah minta sama lo dari hampir dua bulan yang lalu. Masa dibatalin gitu aja? Gue harus nyari pembicara pengganti dari manaaa?" Aku kembali merengek sambil mulai menahan tangis. 

"Yah, Lan.. Gue minta maaf banget tapi gue beneran nggak bisa. Gue janji deh, ini gue sambil coba kontak temen-temen penulis lain yang kira-kira bisa gantiin gue. Kalo udah dapet gantinya, gue langsung hubungin lo. ASAP." Ujar Andini, berusaha menghiburku. Aku hanya menghela napas sambil mengaduk spaghetti di piringku tanpa minat.

"Lan? Haloo, Alana?"  

"Iya, Ndin. Ya udah kabarin aja kalo lo bisa dapet pembicara pengganti, ya. Bye, Assalamu'alaikum." Aku langsung mematikan sambungan telepon tanpa merasa perlu menunggu Andini membalas salamku. Aku masih kesal dengan sahabatku ini, walaupun aku tahu semua ini terjadi di luar kuasanya. 

Pupus sudah harapanku menjadi karyawan baru yang teladan. Saat dapat tugas untuk menghubungi pembicara, aku sangat excited karena rasanya bukan perkara sulit untuk meminta Andini mengosongkan jadwal. Sahabatku yang super ceria itu pasti mau membantuku. Sayangnya aku lupa bahwa dia juga seorang karyawan dengan jadwal pekerjaan yang padat luar biasa dan sewaktu-waktu jadwalnya bisa berubah. Alih-alih jadi karyawan baru yang teladan, sekarang aku justru harus memutar otak untuk mencari solusi sebelum meeting siang ini dimulai sekitar satu jam lagi. Nggak mungkin aku hadir meeting dengan berita buruk dan tangan kosong seperti ini, kan? Aku harus minta tolong ke mana lagii?

"Bun, tadi Tania di sekolah pake tas baru. Bagus deh tasnya, Bun. Ada gambar unicorn sama ada sequin nya. Kata Tania itu namanya tas smiggle. Naya mau tas kayak punya Tania itu, Bun." Celoteh anak perempuan di meja sebelah reflek membuatku menoleh.

Ku lihat Ia sedang menarik ujung kerudung bunda nya dengan tatapan penuh harap. Aku tebak usianya sekitar 7 atau 8 tahun, masih mengenakan seragam putih-merah dengan kerudung yang sudah sedikit berantakan. Permintaan anak itu menarik perhatianku, sejenak membuatku lupa dengan permasalahan yang aku hadapi. Well, tas smiggle kan nggak murah. Cukup brand minded juga ya anak SD zaman sekarang.

"Tas punya Naya kan masih bagus," Jawab bundanya acuh tak acuh, sambil membalik daftar menu yang dipegangnya. Anak kecil yang sepertinya bernama Naya tadi lantas menyandarkan tubuhnya pada lengan sang bunda, masih ingin meneruskan negosiasinya. 

"Iya tapi tas Naya kan nggak ada sequin nya, Bunda. Nggak keren kayak punya Taniaa." Ucap anak itu merajuk kepada bundanya. Kulihat kali ini sang bunda menghadapkan badannya ke anak kecil tadi, menatap anak itu dengan serius, kemudian mengatakan,

"Kalo Naya mau tas itu, minta sama Allah. Minta sama Ar-Razzaq untuk kasih rezeki ke Ayah sama Bunda. Minta sama Al-Hadi biar kasih petunjuk ke Ayah sama Bunda buat cari rezeki yang halal biar bisa beliin Naya tas baru. Hayo coba tadi pas shalat dzuhur Naya berdoa nggak?" Ucapan Bunda Naya ini rasanya bagai tamparan untukku. 

Minta sama Allah, minta sama Ar-Razzaq, minta sama Al-Hadi

Apa aku sudah meminta bantuan kepada Yang Maha Memberi Petunjuk atas segala permasalahanku ini? Aku minta bantuan kepada Andini seolah-olah hanya Andini lah yang dapat menolongku, lantas frustasi ketika ternyata harapanku tidak berjalan sesuai rencana. Aku lupa bahwa ada An-Nashir, Yang Maha Penolong, tempat aku seharusnya mengadu mengharap pertolongan pertama kali. Sekarang ini aku bahkan belum sahalat dzuhur! Astagfirullah..

"Oh iya, Naya lupa, Bunda. Naya berdoa sekarang, deh." Ucap anak itu seraya mengangkat kedua tangannya sambil mulut mungilnya bergerak-gerak, berbisik lirih mengucap doa dengan bahasa kanak-kanaknya yang sungguh menggemaskan. 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Terima kasih, Bunda dan Naya untuk pengingatnya! Ucapku dalam hati, kemudian mengambil ponsel dan dompetku untuk bergegas ke mushala cafe. Mushala kecil berukuran 3 x 4 meter inilah yang menjadi saksi bisu 'curhat'ku kepada Allah, mengutarakan segala permasalahanku tanpa adanya kata yang terucap. Tak terasa pipiku mulai basah akibat air mata yang turun tanpa aku komando. Tangisan ini bukan karena Andini yang tiba-tiba membatalkan janjinya kepadaku, bukan pula karena aku belum berhasil mendapatkan pembicara untuk menggantikan Andini. Tangisan ini adalah tangisan malu, malu karena aku melupakan Dzat yang seharusnya menjadi satu-satunya tempat untukku bergantung. Malu karena tidak sepatutnya aku menyalahkan Andini. Segala permasalahan yang aku alami pastilah akibat dosa dan maksiat yang aku lakukan, entah sadar ataupun tidak.


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. Aku menyeka air mataku lalu membaca pesan tersebut. Pesan dari Mbak Lita, atasanku di kantor. Kali ini aku sudah lebih tenang dan pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Dunia tidak akan kiamat hanya karena Andini tidak bisa menjadi pembicara seminar, kan? Timku di kantor pasti punya kenalan alumni sukses lainnya yang bisa menggantikan Andini. Aku hanya butuh bekerja lebih keras lagi, dan mempersiapkan diri untuk lembur tentunya.

Mba Lita (081234xxxx)

Alana, masih lunch di luar ya? Meeting akan kita majukan, ada perubahan agenda. Pihak televisi menawarkan kerjasama. Acara Telinga Nashwa direncanakan akan live di acara semintar orientasi mahasiswa baru. Otomatis kita tidak bisa menjadikan Andini Sarananta sebagai pembicara karena pembicara akan diisi Nashwa Syahab selaku host Telinga Nashwa sekaligus alumni kampus ini. Bisa segera kembali ke kantor? 


Masya Allah.. Doaku dibayar kontan! 

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...